Harmonisasi antar umat beragama di Dusun Tekelan di bawah kaki Gunung Merbabu.

 

desa Tekelan

sumber foto: Buddhazine.com

Harmonis antar umat beragama di Dusun Tekelan di bawah kaki Gunung Merbabu.

Ini Pengalaman aku beberapa waktu lalu saat bermalam di kediaman salah seorang warga budhis di Dusun Tekelan.

Sebagian dari kita pasti ada yang baru dengar nama Dusun tekelan, yups… kita sama dan ini kali pertama saya singgah di tempat seindah ini.

Sedikit saya perkenalkan, dari beberpa info yang saya tau Dukuh/Dusun Tekelan merupan satu dari 19 dusun di Desa Batur, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.

Dengan ketinggian 1596 mdpl dan suhu rata-rata 15-20’ C, merupakan Desa terahir sekaligus terdapat Bascame untuk menuju Puncak Merbabu.

Dari letaknya sudah pasti tidak perlu di ragukan bagaimana indanya pemandangan serta segarnya udara di sana.

 
TUJUAN UTAMA PERJALANAN DIMUALAI

Jumat 24 Desember 2022, Sekitar Pukul  11.00 WIB saya tiba di Stasiun Tawang, rencananya saya akan menghadiri acara pernikahan sorang kawan di hari minggu , cukup lama sampai seorang teman dengan mobil kijang hijau tua khas dan jadulnya bernama  Hans  tiba menjemput dan berangkatlah kita ke lokasi yang tiba tiba dia sebut semalam sebelum keberangkatan saya, rencana dadakan ini terlontar begitu saja darinya lantaran bingung mengisi waktu selama sisa waktu sebelum menghadiri pernikahan kawan kita, Jogja yang selalu jadi tempat singgah atau semalam ngecamp di Gunung Ungaran, lalu Hans memberi usul untuk singgah ke rumah Mas Kabul, bascame tempat biasa anak2 Mapala kampus kami dulu mencari ketenangan katanya (Hans memang aktif di organisasi Mapala kampus).

Sekitar dua setengah jam melalui Tol Gayam-Tingkir perjalanan kami dari Semarang ke Kota Salatiga, sekitar jam 4.30 sejenak kami solat dan istirahat di sebuah rumah makan di tepi area pesawahan yang katanya enak, pemandangan gunung  juga sawah lengkap dengan suhu yang semakin turun terasa sedikit aneh bila ada rumah makan yang menjual aneka seafood, mau heran tapi inilah kekayaan Indonesia …

Senja menepi, setelah magrib kami melanjutkan perjalanan menuju Desa Tekelan yang masih harus kita tempuh selama 45 menit, sayang saat perjalanan langit sudah gelap dan yang terlihat hanya pepohonan lebat di tepi jalanan beraspal yang terkadang hilang dan beralih menjadi tanah berbatuan yang becek karena sempat terguyur hujan, jalanan yang naik turun  dan tak jarang bikin bulu merinding karena sangat gelap serta minim penerangan, kurang lebih mirip lokasi saat adegan Wahyu dan Widya yang motornya mogok di tengah hutan pada film “ KKN Desa Penari “ . hheeee…

Masih juga belum sampai Hans masih terus focus menyetir di medan yang mulai kembali mulus, melewati gapura terahir yang aku lihat,  tidak terbaca jelas tulisan yang tertera namun sepertinya itu gapura menuju dusun yang kami tuju karena sudah mulai nampak beberapa rumah dan penerangan redup di banding sebelumnya.


ADA YANG MENARIK

Setelah melewati gapura Desa, tak lama kami melalui jalan tanjakan yang lumayan curam lalu berhenti di sebuah halaman rumah warga, Hans memberi isyarat bahwa kami sudah sampai di lokasi, bukanya senang perasaan takut tiba tiba muncul. Jauh dari bayangan, bascame yang seharusnya ramai dengan pendaki atau warga lalu lalang misalnya. Yang aku lihat hanya rumah kayu khas seperti rumah nenek jaman dulu yang sudah rapat tertutup, hanya suara gaduh alunan gamelan entah dari mana asalnya yang aku dengar, “ mungkin warga sedang ada hajatan” pikirku saat itu.

Perlahan ku buka pintu mobil dan tiupan angin yang entah minus berpa drajat seketika menambah ciut nyali, sempat aku minta pulang karena kawatir mengganggu warga yang mungkin sudah istirahat, tapi seperti biasa Hans punya seribu cara membuatku percaya bahwa semua akan baik baik saja.

Awalnya aku pikir Tekelan adalah Dusun biasa seperti pada umunya Dusun/Desa di kaki Gunung yang pernah aku temui. Tapi pandangan itu berupah sejak awal aku mulai menginjakan kaki lalu mata mulai menelaah apa yang tepapar di depan mata, aku terpana dengan bangunan Stupa kecil dengan patung Budha dan batang dupa yang diletakan di hampir setiap halaman rumah warga, Hans yang seketika melihat ku penasaran mulai bercerita kenapa dia dan anak2 Mapala Kampus kami suka dengan tempat ini dan mulai akrab dengan warga selama bertahun tahun.

Aku mengikuti langkah Hans menuju sebuah rumah di seberang kami parkir, beberapa kali kami ketuk pintu dan mencoba mebukanya namun tidak berhasil, tak lama kami menunggu sampai ada warga lain datang dan memberi kabar bahwa Mas Kabul berada di tempat hajatan adiknya, sampai sat itu aku masih tak tau kenapa Hans membawa ku ke rumah ini bukan ke Bascame.

Hampir satu batang Hans menghisap roko sambil menahan tiupan angin, dari balik pagar muncul seorang pria berkumis dengan perawakan lembut menyapa Hans dengan akrab dan mempersilahakan kami masuk kerumah tersebut yang baru aku tau beliau bernama Mas Kabul ( panggilan akrab Hans dan anak2 Mapala).

Rumah dari Kayu jati, Di ruang Tamu hanya ada sebuah dipan kayu beralas tikar tanpa kursi dan meja, dinding penuh denga foto pendakian dan poster Mahasiswa Pecinta Alam ( Mapala)  dari berbagai daerah. Terlihat tembok kayu berukir yang sudah tua sebagai pembatas area ruang tamu dan lumbung hasil panen, ada sebuah pintu terbuka mengarah ke area dapur, Tungku penghangat lalu area kamar pribadi dan sebuah Lorong kecil kearah kandang peliharaan dan berahir di area Kamar mandi dan cuci. semua area berlantai tanah padat namun tetap rapi dan bersih.

Di sajikanya kopi dan teh panas, dipersilahkanya kami menghangatkan badan di area tungku lalu mulai melanjutkan perbincangan kami, sesaat aku teringat dan suasana ini yang membuatku bertambah takjub, mereka yang jauh dari modernisasi tapi terlihat harmonis hanya karena adanya tungku api di dalam rumah mereka. Tungku api menjadi  Center area warga untuk berkumpul dan bercerita ketika petang datang, hampir tidak ada agenda lain selain berkumpul menghangatkan badan di Tungku perapian setelah malam datang dan tertidur lelap sampai fajar datang kemudian mulai beraktifitas kembali,

 

INDAHNYA TOLERANSI ANTAR AGAMA

Membuka mata untuk pertama kali di hari yang cerah dengan double jaket, double celana, double kaus kaki plus sleapping bag super tebal setelah kedinginan sepanjang malam hehhee… 

Tak perlu menghabiskan banyak waktu aku dan Hans mulai berkeliling Dusun, tidak jauh dari rumah Mas Kabul ada Vihara kecil berjarak 50 meter dari vihara ada masjid dan toilet umum , tepat di balik Toilet terdapat Bascame Utama Gunung Merbabu, berjalan sebentar lebih tinggi ada Gereja yang indah, Menurut cerita Mas Kabul semalam, penduduk beragama Hindhu terbanyak memang berada di Dusun Tekelan, sudah sejak lama setiap perayaan hari besar agama setiap warga saling menghormati dan suka saling gotong royong membantu pelaksanaan acara meski memiliki perbedaan keyakinan, misalkan saja setiap hari raya Idul Fitri, setelah solat Iedul Fitri mereka selalu berkumpul di sepanjang jalan utama lalu saling bersalaman antar warga dan dilanjutkan dengan acara makan bersama, atau saat acara Natal mereka saling membantu membersihkan gereja lalu merayakan natal dengan acara makan Bersama warga. Kalaw beruntung datang di waktu yang tepat tak jarang kita juga bisa menyaksikan ada acara adat juga sajian tarian dengan iringan gamelasn yang suka dilakukan oleh warga untuk memeriahkan hari sakral didaera ini.

 

108 ANAK TANGGA MENUJU VIHARA BUDHA BUMIKA


Dari Belakang rumah Mas Kabul ada bukit yang nampak jelas bangunan Vihara Utama Budha Bumika dusun Tekelan, untuk menuju Vihara Budha Bumika kita harus melalui 108 anak tangga Tekat, yang sepanjang dinding tertempel tulisan berisi wejangan kebaikan, sesampainya di depan Vihara Budha Bumika kita di sambut dengan dua patung Dwarapala dan di sisi kanan Vihara terdpat patung Budha yang sangat besar, namun sayangya saat saya ke lokasi sedang di renovasi sehingga saya hanya bisa menyaksikan dari halaman Vihara dan patung Buda dalam keadaan tertutup, meski hanya bisa menikmati dari halaman saja saya sudah cukup puas karena dari sana terpapar begitu indah pemandangan dari atas bukit serta terasa jelas aura kedamaian yang dipancarkan karena adanya toleransi dan kasih sayang antar umat beragama di Dusun Thekelan.

 

Komentar

  1. Aku pernah ke dusun thekelan. Ketika masih kuliah. Saat itu dalam rangka naik gunung merbabu. Sayangnya kami tiba di sana ketika malam hari dan langsung dilanjut dengan lendakian. Jadi tidak bisa menikmati suasana dusun.

    Makanya aku baru tahu jika ada vihara, gereja, dan rumah joglo dengan pemandangan yang sangat bagus. Jadi pengen ke dusun thekelan lagi. Mungkin hanya sekadar bersantai menikmati suasana dusun.

    Cerota yang bagus mbak naila :)

    BalasHapus
  2. Sangat menarik,
    Dusun thekelan terletak di lereng gunung Merbabu kec. Salatiga, dusun tertinggi di kab.salatiga yg menyajikan pemandangan yg menawan, disana merupakan titik awal jalur pendakian Merbabu via thekelan.

    BalasHapus
  3. Tulisannya bagus, sangat mengedukasi. Gak cuma menceritakan kerukunan aja, tapi juga menceritakan keindahan alamnya. Nice...

    BalasHapus
  4. di bagian cerita "ada yg menarik", tadinya gw pikir ini cerpen misteri loh..hehe.. gw suka tempat yg kayak gini, bisa dijadiin wisata religi.. cantik buat dijadiin latar belakang foto2..thanks infonya ya :)

    BalasHapus
  5. Pernah dengen aja nama base camp Tekelan pas dulu sering naik Gunung. Kalau ke Merbabu waktu itu saya pernahnya lewat Selo. Tapi bagus juga ya dusunya, bisa bertoleransi antar agama dan saling gotong royong pas ada acara besar.
    -Dayu Anggoro

    BalasHapus
  6. Banyak hal yang saya baru tau dari tulisanmu ini Nai, selama ini saya taunya mendaki Merbabu, ternyata di kaki Gunungnya banyak hal yang patut untuk disinggahi sekaligus dipelajari. Sedikit masukan mungkin ada Typo dibeberapa kata, tapi secara keseluruhan sangat menarik

    Keren Tulisannya Nai

    BalasHapus
  7. Wah, baru tahu kalau di kaki gunung Merbabu ada vihara dan juga gereja. Sungguh terkesan dengan keberagaman yang ada di sana, sayangnya saya ngga begitu suka naik gunung.

    BalasHapus
  8. Dari dulu sering denger kalo desa2 terpencil dimana banyak minoritas itu sangat toleran dan kekerabatan dan tenggang rasanya cukup tinggi. Cerita yg menarik.

    BalasHapus
  9. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  10. Medan jalannya berasa uji nyali ya kak
    - Retno

    BalasHapus
  11. Memang paling enak bisa berinteraksi dengan orang dan suasana yg berbeda dari kebanyakan lalu mencari tahu resep rukunnya mereka. Jadi makin yakin belajar itu bukan cuma di bangku sekolah

    BalasHapus
  12. Baru tau kalo ada nama dusun ini. Waktu ke Merbabu gak main ke sini. Menarik! Nice post!

    BalasHapus
  13. wah menarik ceritanya, jadi tahu bahwa ada vihara, ada penganut agama Hindu juga Budha disana.
    Toleransi beragamanya cukup tinggi ya, senang sekali mengetahui bahwa harmonisasi itu bisa tercipta dan terjaga di Dusun Tekelan. (anni)

    BalasHapus
  14. Hidup di desa seperti Dusun Tekelan ini sepertinya bikin nyaman dan menenangkan hati. Jauh dari kehidupan kota yang cepat dan membuat stres.

    BalasHapus
  15. Foto²nya kurang banyak nay, aku penasaran sama Vihara dan keindahan alam lainnya

    BalasHapus
  16. Aku tertarik bgt sama viharanya. Sepertinya bekas peninggalan kerajaan majapahit yaa. luar biasa harmonisasi antar umat beragamanya

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

JUAL BELI EMAS DIGITAL, HALAL atau TIDAK ?

Resep Nasi Gandul Daging Gurih Manis Khas Pati Jawa Tengah